KENAPA NEGARA TIDAK MENCETAK UANG SEBANYAK-BANYAKNYA UNTUK MEMBERANTAS KEMISKINAN ATAU MEMBAYAR HUTANG?




Sumber Gambar : Merdeka.com

Utang luar negeri Indonesia baik dari sektor pemerintahan maupun sektor swasta terus mengalami peningkatan. Di kutip dari kompas.com per November 2017 hutang sektor swasta tercatat 170,6 miliar dollar AS sedangkan hutang pemerintah tercatat 176,6 miliar dolar AS. Hal ini tidak sesuai dengan jumlah masyarakat miskin di Indonesia yang mencapai 26,58 juta orang per September 2017 (BPS Indonesia).

Dari semua permasalahan ini muncul sebuah ide gila bagaimana jika pemerintah menyuruh BI (Bank Indonesia) untuk mencetak uang saja untuk membayar kewajiban hutang serta bunga-bunganya kemudian sisanya dibagi-bagikan ke masyarakat miskin sehingga taraf hidup mereka semakin tinggi? Ide ini ide yang paling buruk yang pernah ada. Karena dengan ide ini akan berdampak cukup panjang bagi masyarakat. Kenapa hal ini bisa terjadi? begini alurnya.
 
Dalam sebuah perekonomian pada dasarnya JUB (Jumlah Uang Beredar) harus sesuai dengan kondisi pasar. Ketika pasar sedang bergairah dalam artian barang di produksi sedang banyak dan kebutuhan masyarakat sedang meningkat maka BI selaku pemegang kuasa kebijakan moneter (perbankan) memang perlu meningkatkan JUB di masyarakat, hal ini terjadi misalnya pada kondisi hari raya idul fitri, idul adha, natal, dll. Jika BI tidak meningkatkan JUB atau malah mengurangi JUB maka hal ini berdampak pada perekonomian nasional yang menjadi tidak stabil karena dengan JUB yang kurang maka kemampuan masyarakat untuk membeli barang juga menjadi kurang sehingga produsen menjadi rugi karena sudah berekspektasi penjualan yang banyak dan memproduksi yang banyak juga hasilnya banyak perusahaan-perusahaan mengurangi jumlah pegawai mereka (PHK) sehingga berdampak pada terganggunya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya permasalahan ekonomi secara makro yaitu pengangguran.

Bagaimana jika dalam kondisi perekonomian yang normal kemudian bank sentral selaku pemegang kuasa moneter (BI) meningkatkan JUB untuk membayar hutang pemerintah kepada LN dan sisanya dibagikan kepada masyarakat? Sebenarnya hal ini pernah terjadi di Jerman pada masa sesudah perang dunia ke 2 dimana Jerman diwajibkan menanggung beban dan pengeluaran perang dari musuh akibatnya Jerman mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk membayar beban ini, namun dampaknya sangat buruk, mata uang Jerman pada masa itu nilainya menjadi sangat turun bahkan mata uang Jerman menjadi tidak berharga pada saat itu dalam perekonomian hal ini disebut dengan inflasi. Begitu juga jika hal ini diterapkan di Indonesia, mata uang Rupiah terhadap US Dollar yang saat ini Rp14.000/US$ bisa saja menjadi Rp50.000/US$ atau bahkan lebih buruk dari itu, dampaknya investor asing maupun domestik menarik investasi mereka di Indonesia, impor menjadi menurun, daya beli masyarakat menurun dan buruknya lagi hutang Indonesia secara nilai riil akan menjadi semakin meningkat juga dan hal ini bisa berdampak kepada semua permasalah nasional seperti inflasi, kriminalitas meningkat, pengangguran meningkat, pertumbuhan ekonomi menurun, kemiskinan meningkat, dll

Untuk itulah ide gila mencetak uang untuk membayar hutang dan mengurangi kemiskinan ini perlu dihapus dari otak dan pemikiran kita, karena hal ini tidak sesuai dengan pemikiran-pemikiran ekonomi yang sudah ada seperti pada Teori Kuantitas Inflasi dari pandangan teori klasik yang menyatakan "Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan juga oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang." Semakin tinggi laju inflasi maka nilai riil dari mata uang menjadi menurun akibatnya mata uang kita menjadi semakin tidak berharga. (HNS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemindahan Ibukota Indonesia

6 JANJI YANG SULIT UNTUK DITEPATI OLEH ANIES-SANDI